Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu 
melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia 
menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas 
barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi
 pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di 
pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang 
mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh 
dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu 
dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa 
kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak
 itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti 
perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba 
cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan 
amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan 
dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih 
yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju 
masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju
 masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin
 ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi 
sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu 
usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda 
tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya.
 Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri 
bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa 
plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga 
sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? 
Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada 
pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu 
berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya 
tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang 
sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak
 itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak.
 Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per 
bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar 
ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya 
kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita 
membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan
 uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan
 kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis 
di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. 
“Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil 
keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. 
Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang 
nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan 
berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak 
seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya 
tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang
 yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari
 belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus 
amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar 
Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak
 lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli 
makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar 
sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya 
segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan 
untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang 
teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang
 dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan 
warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli 
barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. 
Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan 
lengkap….”.
Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari 
mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. 
Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan 
memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa 
mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih 
mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan 
mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung
 kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam 
pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang 
berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. 
Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan
 kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan 
amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya 
amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. 
Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, 
tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si 
bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya 
simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. 
Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si 
bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya 
yang tak laku-laku.

 



 
 
 
 
 Posts
Posts
 
 
terkadang mahasiswa ITB menjadi terharu dengan perjuangan sang bapak, tapi tahukah mereka pekerja level bawah tukang becak dan arau sebagainya mereka adalah orang tua beberapa dari siswa itb untuuk memperjuangkan kuliahnya
ReplyDeletegtjseragam